Setelah melalui perjalanan puluhan kilometer menyelusuri pantai negri tapal batas atau sering dikenal dengan “Negri Ekor Borneo” (Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat) terbersit kata-kata yang mengabarkan kekhawatiran yang menghantuiku sepanjang perjalanan, saat itu tanggal 26 Maret 2015 kira-kira pukul 13.30 sampai 18.30 wib. Seakan-akan apa yang menjadi kekhawatiranku benar-benar akan terjadi kelak. Ya, benar, ‘Bangsa Penyu’ yang kini pelan-pelan semakin terancam punah menjadi pusat perhatian semua stake holder, pemerintah, LSM, dan masyarakat pesisir Paloh.
Melihat kondisi yang seperti
ini, aku mencoba memuat semua yang ada dalam pikiranku dan (mungkin) juga
merupakan kegelisahan yang dialami ‘Bangsa Penyu’ hari ini dalam sebuah tulisan
tentang perjalananku.
Perjalananku dari Pontianak
menuju Kecamatan Paloh bersama seorang aktivis lingkungan dari WWF (Agri
Fisesa) dalam rangka monitoring dan
pemantauan kondisi Penyu yang diprediksi sudah memasuki bulan bertelur
(April-September) sekaligus persiapan Fespa yang rencana dilaksanakan Bulan
Mei. Kami mulai bergerak dari Kota Pontianak pukul 13.00 wib dan tiba di Kantor
WWF kira-kira pukul 22.00 waktu Paloh dengan jarak tempuh 300 KM lebih hari
Rabu, 25 Maret 2015.
Tidak hanya sampai disini,
perjalanan kami lanjutkan menuju Sungai Belacan (Camp WWF) di Pantai dan
selanjutnya menuju Desa Temajuk hari selanjutnya, Kamis 26 Maret 2015 menempuh
perjalanan selama kurang lebih 5 jam. Selama perjalanan dari pusat kecamatan
menuju Sungai Belacan dan Temajuk inilah yang menimbulkan rasa prihatin dan
kekhawatiranku terhadap ‘Bangsa Penyu’ yang mungkin mereka juga merasa terancam
ditengah perkembangan & pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir Paloh.
Menurut penerawanganku,
banyak hal yang membuat ‘Bangsa Penyu’ terancam punah di Kecamatan Paloh,
diantaranya kebijakan pemerintah daerah yang membuka jalan terlalu dekat dengan
pantai. Bagi masyarakat pesisir Paloh, khususnya warga Temajuk meningkatkan
infrastruktur jalan memang menjadi idaman sejak lama. Dengan dibukanya jalan,
akses menuju Temajuk semakin mudah dilalui oleh masyarakat sekitar dan
wisatawan, yang kemudian dengan meningkatnya wisatawan yang masuk ke Temajuk,
perekonomian daerah perbatasan juga akan meningkat. Kebijakan ini dipandang
positif oleh masyarakat, bangsa Indonesia.
Namun ada satu bangsa yang
sangat tidak menginginkan hal ini terjadi, itulah ‘Bangsa Penyu’. Mereka merasa
terancam dengan adanya lalu-lalang manusia di sekitar pantai, suara kendaraan
dan kebisingan lalu lintas masyarakat membuat ‘Bangsa Penyu’ khawatir untuk
bertelur di sepanjang pesisir Paloh. Terbukti berdasarkan pendataan Penyu yang
naik ke pantai untuk bertelur yang dilakukan oleh WWF sepanjang tahun 2013 dan
2014, dimana Penyu yang naik untuk bertelur pada tahun 2013 sebanyak dua ribuan
lebih ekor dan tahun berikutnya dikabarkan semakin berkurang.
Seandainya ‘Bangsa Penyu’
bisa bahasa manusia, mungkin mereka setelah melihat kondisi ini akan berkata
kepada anak-anaknya “nak, di zaman
Belanda dahulu, bangsa kita hidup aman sejahtera. Namun bangsa manusia di
pesisir Paloh ini dijajah dengan sangat kejam. Hari ini bangsa manusia sudah
merdeka, namun kita sedang dijajah oleh manusia disaat pembangunan ekonomi
Negri Ekor Borneo meningkat pesat. Anak-anakku, saat kalian menetas nanti, maka
kalian harus belajar menghadapi keserakahan manusia, dan sejak saat itu kalian
harus berjuang untuk terus hidup memperjuangkan negri dan bangsa kita. Jangan
pernah menyerah, jangan pernah berhenti mengarungi samudera dan kembali ke
pantai ini untuk menetaskan generasimu”.
'Gue Locek'